Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin
dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang penguasa adalah
pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah
pemimpin di rumah tangga suaminya dan anak-anaknya: dan dia bertanggung jawab
atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung
jawab atas nya. Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing
mempertanggungjawabkan atas kepemimpinannya” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi dan Ibnu Umar)
Hadits di atas sudah tidak asing lagi di telinga kita, mengingatkan
kepada kita akan sebuah tanggung jawab dari seorang pemimpin atas apa yang
dipimpinnya. Setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin dan kelak akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinanya itu. Memberikan penjelasan tentang kepemimpinan secara utuh tidaklah
mudah, seringkali beragam atau tidak memiliki definisi tunggal, sehingga tidak
dengan mudah untuk digeneralisasi, bahkan semakin menjadi tampak rumit atau
kompleks ketika ditarik pada konsep-konsep normatif, yang tidak jarang pula
bersifat multitafsir. Karena bisa dikatakan bahwa kepemimpinan tidak lepas dari
dasar yang membuatnya sehingga pada akhirnya bersifat relatif dan subjektif.
Sehingga munculah pertanyaan Seperti apakah sebenarnya kepemimpinan yang
dipandang ideal itu?
Sikap dan pemahaman yang bersifat relatif semacam itu tentu penting
untuk diperhatikan agar tidak terjebak pada satu pandangan saja dan menjadikan
idealisasi sebagai dogma. Sebab ketika sebuah pandangan itu dimutlakan dan kemudian
menjadi hegemoni, biasanya akan dengan mudah dijadikan parameter tunggal yang
tidak jarang dipakai untuk menjadi alat menghakimi atau memvonis tanpa
perspektif yang luas. Padahal sejatinya, aspek kepemimpinan sungguh merupakan
area yang penuh dinamika dan tidak sepenuhnya dapat dimutlakan sekadar dengan
norma-norma ideal, lebih-lebih dengan patokan norma yang masih dapat diperdebatkan
dan bersifat multitafsir.
Berbicara tentang kepemimpinan tentu akan sangat terkait dengan
beberapa hal seperti latar belakang sosial dan individual, struktur dalam
sistem kepemimpinan tersebut, interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin,
kondisi dan konteks yang berkembang saat itu, kepentingan-kepentingan, dan
faktor nilai dan norma yang dianut dalam kepemimpinan tersebut. Hal ini selalu
hangat di bicarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Seperti pelajar,
mahasiswa, guru/dosen, pengusaha, birokrat, orang tua, pemuda, seniman,
olahragawan, cendikiawan, politikus dan sebagainya.
Sebagian besar orang beranggapan maju dan berkembangnya suatu organisasi
terletak pada pemimpinya. Begitu juga sebaliknya, organisasi yang tidak dapat
berkembang bahkan mengalami penurunan, bisa dimungkinkan penyebabnya adalah
lemahnya pemimpin. Hal itu berlaku pada semua organisasi. Apabila ingin
mengembangkan dan memajukan organisasi atau lembaga apapun, maka salah satu
kuncinya adalah pemimpin atau kepemimpinan yang ada di dalamnya. Meskipun faktor
diluar pemimpinya baik, jika tidak didukung sumber daya manusia (termasuk
pemimpinya) yang professional, maka tidak akan berhasil dengan baik.
Kehidupan organisasi selalu dihubungkan dengan siapa pemimpinya
dan bagaimana memimpinya. Negara itu maju atau tidak, akan selalu dihubungkan dengan siapa
presidennya, baik sebagai kepala Negara maupun kepala pemerintahan. Anggapan
tersebut memang tidak memiliki kebenaran secara mutlak, tetapi juga tidak dapat
disalahkan secara mutlak. Oleh karena itu semua orang menyadari bahwa seorang
pemimpin memiliki posisi yang sangat strategis dan peran yang sangat menentukan
dalam memajukan atau mengembangkan sebuah organisasi. Hal tersebut kiranya
telah difahami bahwa pemimpin dalam sebuah organisasi bukan satu-satunya penentu,
karena masih banyak faktor lain yang terkait. Akan tetapi perlu difahami pula
bahwa faktor pemimpin atau kepemimpinan sangat besar pengaruhnya terhadap
kehidupan organisasi.
Berkenaan dengan hal tersebut, John D. Millet mengemukakan tugas
seorang pemimpin itu meliputi empat hal, antara lain: 1). Kemampuan melihat
organisasi secara keseluruhan, 2). Kemampuan mengambil keputusan-keputusan, 3).
Kemampuan mendelegasikan wewenang dengan sikap percaya pada kolega dan mitra
kerjanya, dan 4). Kemampuan menanamkan kesetiaan melalui pendekatan keteladanan.
Dalam perilaku kepemimpinan dibutuhkan keluasan pengetahuan dan
keluwesan budi pekerti. Dua unsur ini sangat memberikan pengaruh terhadap pola
kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Banyak organisasi yang dipimpin seorang
yang punya keluasan pengetahuan, tetapi tidak memiliki keluwesan budi pekerti.
Akibatnya proses kepemimpinan menjadi otoriter, sentralistis, dan seterusnya.
Sebaliknya Organisasi yang memiliki pemimpin luwes budi pekertinya tetapi tidak
luas pandangan dan pengetahuannya maka proses kepemimpinanya menjadi tidak seimbang pula.
Dr. Haedar Nashir dalam Suara Muhammadiyah (Edisi 01 Januari 2011)
memberikan beberapa acuan dasar yang harus dimiliki para pemimpin dimanapun dia
berada. Pertama, nilai-nilai Islam
termasuk di dalamnya akhlaq Islami wajib menjadi fondasi dalam kepemimpinan,
siapapun dan format apapun pemimpinnya. Kedua,
spirit dan komitmen para pemimpin haruslah kuat dan optimal dalam menjalankan
kepemimpinan yang dilandasi keikhlasan, pengkhidmatan, dan amal shaleh untuk memajukan
kemajuan umat dan bangsa. Ketiga,
konsistensi antara nilai dan tindakan, kata dan perbuatan, niat dan praktek,
ilmu dan amal, serta menunjukkan diri sebagai uswah hasanah yang otentik dan
tidak dibuat-buat atau palsu. Jika selalu menyuarakan kepemimpinan yang Islami,
maka tunjukkan keislaman itu dalam tindakan, perbuatan, dan kenyataan sehingga bukan
sekadar norma, lisan, dan jargon. Hal ini sebagai salah satu bentuk tanggung
jawab yang harus di penuhi oleh setiap pimpinan di manapun dia berada.
Maka sudah saatnya bagi kita untuk mencari pola kepemimpinan yang
efektif. Artinya kepemimpinan yang dapat dipertimbangkan dari segala segi, baik
integritas dan komitmen maupun latar belakang sosial-pendidikannya. Singkatnya,
pola kepemimpinan yang diharapkan adalah pemimpin yang memiliki sikap
profesionalisme yang disertai dengan jiwa keteladanan, kejujuran dan penuh
tanggungjawab.
Dari Abu Hurairah, r.a. ia
berkata, Rasulullah Saw bersabda: Jika amanah telah hilang (sudah tidak
dipegang lagi dengan teguh), maka tunggulah saat kehancuranya. Ia bertanya: Ya
Rasul, bagaimana seseorang menghilangkan amanah itu? Rasul menjawab: (yaitu)
apabila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka
tunggulah saat kehancuranya (HR. Bukhori)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar