Minggu, 26 Januari 2014

Siapa Pemimpinya dan Bagaimana Memimpinnya?


Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin di rumah tangga suaminya dan anak-anaknya: dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atas nya. Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing mempertanggungjawabkan atas kepemimpinannya” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Umar)
Hadits di atas sudah tidak asing lagi di telinga kita, mengingatkan kepada kita akan sebuah tanggung jawab dari seorang pemimpin atas apa yang dipimpinnya. Setiap orang pada dasarnya adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanya itu. Memberikan penjelasan tentang kepemimpinan secara utuh tidaklah mudah, seringkali beragam atau tidak memiliki definisi tunggal, sehingga tidak dengan mudah untuk digeneralisasi, bahkan semakin menjadi tampak rumit atau kompleks ketika ditarik pada konsep-konsep normatif, yang tidak jarang pula bersifat multitafsir. Karena bisa dikatakan bahwa kepemimpinan tidak lepas dari dasar yang membuatnya sehingga pada akhirnya bersifat relatif dan subjektif. Sehingga munculah pertanyaan Seperti apakah sebenarnya kepemimpinan yang dipandang ideal itu?


Sikap dan pemahaman yang bersifat relatif semacam itu tentu penting untuk diperhatikan agar tidak terjebak pada satu pandangan saja dan menjadikan idealisasi sebagai dogma. Sebab ketika sebuah pandangan itu dimutlakan dan kemudian menjadi hegemoni, biasanya akan dengan mudah dijadikan parameter tunggal yang tidak jarang dipakai untuk menjadi alat menghakimi atau memvonis tanpa perspektif yang luas. Padahal sejatinya, aspek kepemimpinan sungguh merupakan area yang penuh dinamika dan tidak sepenuhnya dapat dimutlakan sekadar dengan norma-norma ideal, lebih-lebih dengan patokan norma yang masih dapat diperdebatkan dan bersifat multitafsir.
Berbicara tentang kepemimpinan tentu akan sangat terkait dengan beberapa hal seperti latar belakang sosial dan individual, struktur dalam sistem kepemimpinan tersebut, interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin, kondisi dan konteks yang berkembang saat itu, kepentingan-kepentingan, dan faktor nilai dan norma yang dianut dalam kepemimpinan tersebut. Hal ini selalu hangat di bicarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Seperti pelajar, mahasiswa, guru/dosen, pengusaha, birokrat, orang tua, pemuda, seniman, olahragawan, cendikiawan, politikus dan sebagainya.
Sebagian besar orang beranggapan maju dan berkembangnya suatu organisasi terletak pada pemimpinya. Begitu juga sebaliknya, organisasi yang tidak dapat berkembang bahkan mengalami penurunan, bisa dimungkinkan penyebabnya adalah lemahnya pemimpin. Hal itu berlaku pada semua organisasi. Apabila ingin mengembangkan dan memajukan organisasi atau lembaga apapun, maka salah satu kuncinya adalah pemimpin atau kepemimpinan yang ada di dalamnya. Meskipun faktor diluar pemimpinya baik, jika tidak didukung sumber daya manusia (termasuk pemimpinya) yang professional, maka tidak akan berhasil dengan baik.
Kehidupan organisasi selalu dihubungkan dengan siapa pemimpinya dan bagaimana memimpinya. Negara itu maju atau tidak, akan selalu dihubungkan dengan siapa presidennya, baik sebagai kepala Negara maupun kepala pemerintahan. Anggapan tersebut memang tidak memiliki kebenaran secara mutlak, tetapi juga tidak dapat disalahkan secara mutlak. Oleh karena itu semua orang menyadari bahwa seorang pemimpin memiliki posisi yang sangat strategis dan peran yang sangat menentukan dalam memajukan atau mengembangkan sebuah organisasi. Hal tersebut kiranya telah difahami bahwa pemimpin dalam sebuah organisasi bukan satu-satunya penentu, karena masih banyak faktor lain yang terkait. Akan tetapi perlu difahami pula bahwa faktor pemimpin atau kepemimpinan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan organisasi.
Berkenaan dengan hal tersebut, John D. Millet mengemukakan tugas seorang pemimpin itu meliputi empat hal, antara lain: 1). Kemampuan melihat organisasi secara keseluruhan, 2). Kemampuan mengambil keputusan-keputusan, 3). Kemampuan mendelegasikan wewenang dengan sikap percaya pada kolega dan mitra kerjanya, dan 4). Kemampuan menanamkan kesetiaan melalui pendekatan keteladanan.
Dalam perilaku kepemimpinan dibutuhkan keluasan pengetahuan dan keluwesan budi pekerti. Dua unsur ini sangat memberikan pengaruh terhadap pola kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Banyak organisasi yang dipimpin seorang yang punya keluasan pengetahuan, tetapi tidak memiliki keluwesan budi pekerti. Akibatnya proses kepemimpinan menjadi otoriter, sentralistis, dan seterusnya. Sebaliknya Organisasi yang memiliki pemimpin luwes budi pekertinya tetapi tidak luas pandangan dan pengetahuannya maka proses kepemimpinanya menjadi tidak seimbang pula.
Dr. Haedar Nashir dalam Suara Muhammadiyah (Edisi 01 Januari 2011) memberikan beberapa acuan dasar yang harus dimiliki para pemimpin dimanapun dia berada. Pertama, nilai-nilai Islam termasuk di dalamnya akhlaq Islami wajib menjadi fondasi dalam kepemimpinan, siapapun dan format apapun pemimpinnya. Kedua, spirit dan komitmen para pemimpin haruslah kuat dan optimal dalam menjalankan kepemimpinan yang dilandasi keikhlasan, pengkhidmatan, dan amal shaleh untuk memajukan kemajuan umat dan bangsa. Ketiga, konsistensi antara nilai dan tindakan, kata dan perbuatan, niat dan praktek, ilmu dan amal, serta menunjukkan diri sebagai uswah hasanah yang otentik dan tidak dibuat-buat atau palsu. Jika selalu menyuarakan kepemimpinan yang Islami, maka tunjukkan keislaman itu dalam tindakan, perbuatan, dan kenyataan sehingga bukan sekadar norma, lisan, dan jargon. Hal ini sebagai salah satu bentuk tanggung jawab yang harus di penuhi oleh setiap pimpinan di manapun dia berada.
Maka sudah saatnya bagi kita untuk mencari pola kepemimpinan yang efektif. Artinya kepemimpinan yang dapat dipertimbangkan dari segala segi, baik integritas dan komitmen maupun latar belakang sosial-pendidikannya. Singkatnya, pola kepemimpinan yang diharapkan adalah pemimpin yang memiliki sikap profesionalisme yang disertai dengan jiwa keteladanan, kejujuran dan penuh tanggungjawab.
Dari Abu Hurairah, r.a. ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Jika amanah telah hilang (sudah tidak dipegang lagi dengan teguh), maka tunggulah saat kehancuranya. Ia bertanya: Ya Rasul, bagaimana seseorang menghilangkan amanah itu? Rasul menjawab: (yaitu) apabila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancuranya (HR. Bukhori)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar